Kamis, 22 Januari 2015

KONSEP KETATANEGARAAN DALAM ISLAM

KONSEP KETATANEGARAAN DALAM ISLAM
Andi Herawati
UIN Alauddin DPK pada Fak. Agama Islam
Universitas Islam Makassar

Abstract: Qur'an as scripture has laid the principles and ethical values ​​in society and state. The principles practiced by the Prophet in his capacity as head of state, so he was able to create a system of government that is peaceful, prosperous and democratic. Government that upholds justice, equality, and protection of human rights
Kata Kunci:  Islam, the system of government, peaceful, prosperous, democratic


I.     PENDAHULUAN
Di dalam Alquran terdapat sejumlah ayat yang mengandung petunjuk dan pedo-man bagi manusia dalam hidup ber-masyarakat dan bernegara. Di antaranya ayat-ayat tersebut mengajarkan tentang kedudukan manusia di bumi dan tentang prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam kehidupan kemasyarakatan.
Alquran merupakan sumber ajaran Islam yang isinya mencakup segala aspek kehidupan manusia. Ia tidak hanya meng-atur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam ling-kungannya. Alquran juga memerintahkan agar umat Islam melaksanakan ajaran-ajaran Islam seutuhnya dan melarang mereka mengikuti kehendak dan ajakan setan.1 Di antara ajaran Islam terdapat pula ajaran yang berkenaan dengan kehidupan politik atau ketatanegaraan. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi logis perintah di atas, maka umat Islam menuntut dan berjuang menegakkan negara.
Negara yang dikehendaki umat Islam adalah negara yang bersistem ketata-negaraan berdasarkan syariat Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat. Dengan demikian sistem ketatanegaraan yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw. dan para Khulafa al-Rasyidin.2 Pelaksanaan prinsip-prinsip ketatanegaraan pada masa Rasulullah dan al-Khulafa al-Rasyidin dapat disebut sebagai sistem ketatanegaraan yang ideal dalam Islam.
Oleh sebab itu, maka tulisan ini akan mengungkapkan bagaimana konsep ketata-negaraan dalam Islam? Dalam menjawab permasalah pokok tersebut, penulis akan lebih banyak mengungkapkan apa yang telah Rasulullah saw. dan al-Khulafa al-Rasyidin telah contohkan.
II.    PEMBAHASAN
A.  Pengertian tatanegara
Tata negara adalah suatu kekuasaan sentral yang mengatur kehidupan bernegara yang menyangkut sifat, bentuk, tugas negara dan pemerintahan, atau sebaliknya.3 Sedang untuk pengertian hukum tata negara, tampaknya belum ada kesepakatan di kalangan para pakar.
AV. Decey, sebagaimana yang dikutip A. Mustari Pide, menyatakan bahwa Hukum Tata Negara adalah segala peraturan yang berisi, baik secara langsung atau tidak langsung tentang pembagian kekuasaan dan pelaksana yang tertinggi dalam suatu negara.4
Ibnu Kencana Syafi’i berkesimpulan bahwa Hukum Tata Negara adalah aturan susunan serta tata cara yang berlaku dalam suatu kelompok keluarga, organisasi ke-wilayahan dan kedaerahan yang memiliki kekuasaan, kewenangan yang absah serta kepemimpinan pemerintahan yang ber-daulat, guna mewujudkan kesejahteraan, keamanan, ketertiban, dan kelangsungan hidup orang banyak (bangsa) dalam mencapai tujuan serta cita-cita bersama.5
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tata negara adalah segala sesuatu yang mengenai peraturan-peraturan, sifat, dan bentuk pemerintahan suatu negara.
B.     Sifat dan Bentuk Pemerintahan
Belum ada suatu definisi yang di-sepakati tentang negara. Namun, secara umum mungkin dapat dijadikan sekedar pegangan sebagaimana lazim dikenal dalam hukum internasional bahwa suatu negara biasanya memiliki tiga unsur pokok yaitu; 1) rakyat atau sejumlah orang, 2) wilayah tertentu, dan 3) pemerintahan yang ber-wibawa dan berdaulat.6
Kita cenderung memahami suatu negara sebagai suatu kehidupan kelompok manusia yang didirikan atas dasar sebagai makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat7, karena tidak mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak lain, padahal negara itu juga didirikan atas dasar fungsi manusia sebagai khalifah Allah (pengatur dan pengelola) di bumi8 yang mengemban kekuasaan sebagai amanah-Nya. Oleh karena itu, manusia dalam menjalani hidup ini harus selalu sesuai dengan perintah-perintah-Nya dalam rangka mencapai kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan, bahwa manusia harus selalu memperhatikan dan melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar yang mengandung makna perintah untuk senan-tiasa melakukan kebaikan dan mencegah kerusakan, sebagaimana yang diajarkan dalam Islam.
Adapun bentuknya tidak ditentukan dalam Alquran dan Sunah Rasul. Apakah kerajaan atau republik? Karena esensinya tidak terletak pada bentuknya, akan tetapi ada pada prinsip-prinsip umum yang sudah digariskan dalam Alquran dan Sunah Rasul. Namun ada suatu isyarat yang diberikan Alquran agar umat Islam membentuk negara kesatuan.9 Meskipun demikian, manusia diberi kewenangan dan kebebasan untuk memilih dan menentukan sendiri bentuk negara yang paling baik bagi mereka. Boleh saja bentuk pemerintahan suatu negara itu kerajaan, namun secara faktual prinsip-prinsip syari’ah berjalan dan diterapkan secara konsekuen. Sebaliknya, suatu bentuk pemerintahan republik, namun mengabaikan prinsip-prinsip umum hukum Islam, jelas itu bukan merupakan suatu tipe negara ideal menurut Alquran dan sunah, bahkan menjadi kontradiktif dengan jiwa syari’ah.
Pada masa al-Khulafa al-Rasyidin umat Islam memilih dan menggunakan sistem khalifah, dengan pertimbangan bahwa sistem inilah yang paling cocok bagi mereka saat itu.10 Sistem khalifah dapat disebut sebagai salah satu bentuk ijma’ (konsensus) para sahabat nabi ketika itu. Namun konsensus itu bukan merupakan suatu konsep yang kaku yang secara mutlak harus diterapkan pada setiap saat dan tempat. Pada masa kontemporer dimung-kinkan untuk diganti dengan sistem yang lain yang memiliki karakteristik yang hampir sama atau berdekatan, misalnya bentuk republik.
Ibnu Taimiyah, salah seorang pelopor pembaharuan dalam Islam dan seorang penganjur ijtihad dalam rangka kembali kepada Alquran dan sunah, dalam teori kenegaraannya lebih mefokuskan pada peran syari’ah dalam negara. Beliau memahami apapun bentuk pemerintahan dalam Islam ia semata-mata alat syari’ah.12 Dengan demikian, beliau lebih menekankan pada supermasi hukum Islam ketimbang bentuk pemerintahan yang formal.
Begitu pula cara menentukan pemimpin umat atau kepala negara tidak terdapat petunjuk dalam Alquran maupun hadis nabi, selain petunjuk yang sifatnya sangat umum agar umat Islam mencari penyelesaian dalam masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama melalui musyawarah, tanpa adanya pola yang baku tentang bagaimana musyawarah itu harus diselenggarakan. Itulah salah satu sebab utama mengapa dalam masa empat al-Khulafa al-Rasyidin itu ditentukan melalui musyawarah, tetapi pola musyawarah yang ditempuhnya beraneka ragam.
Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama melalui pemilihan dalam satu musyawarah terbuka, terutama oleh lima tokoh yang mewakili semua unsur utama dari masyarakat Islam pada waktu itu. Umar bin Khattab diangkat sebagai khalifah kedua melalui penunjukan Abu Bakar setelah mengadakan konsultasi tertutup dengan beberapa sahabat senior dan tidak melalui pemilihan terbuka. Usman bin Affan dingkat melalui pemilihan dalam satu pertemuan terbuka oleh dewan formatur yang ditunjuk oleh Khalifah Usman berdasarkan pertimbangan kualitas pribadi masing-masing. Ali bin Abi Thalib diangkat melalui pemilihan dan pertemuan terbuka, tetapi dalam suasana kacau sehingga keabsahan pengangkatan Ali13 Keempat khalifah itu senantiasa melestarikan tradisi musyawarah dalam mengelola urusan negara dan menyelesai-kan masalah-masalah kemasyarakatan.
Sebagaimana yang telah dikemuka-kan di atas bahwa manusia itu sebagai makhluk sosial dan sekaligus sebagai khalifah Allah di bumi ini. Makna khalifah dilihat dari segi hukum Allah adalah sebagai pengemban amanah Allah. Dalam hal ini, Allah telah melimpahkan suatu tugas kepada manusia untuk mengatur dan mengelola bumi ini dengan sebaik-baiknya menurut ketentuan-ketentuan yang ia gariskan.
Apabila manusia berkuasa di muka bumi, maka kekuasaan itu diperolehnya sebagai suatu pendelegasian kewenangan dari Allah swt., karena Allah swt. adalah sumber dari segala kekuasaan. Alquran menegaskan bahwa Allah swt. sebagai pemilik kekuasaan yang Dia dapat limpahkan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, demikian pula Dia mampu merenggut kekuasaan dari siapa saja yang Dia kehendaki.14 Dengan demikian, ke-kuasaan yang dimiliki manusia hanyalah sekedar amanah dari Allah swt Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu manusia dalam menunaikan amanah itu hendaklah berpegang pada prinsip-prinsip umum hukum Allah sebagai berikut:
1.    Prinsip Kekuasaan sebagai Amanah
Perkataan amanah tercantum dalam Alquran surah al-Nisa’ (4): 58 yang berbunyi:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّواالأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَاحَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيْعًابَصِيْرًا
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.15
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa 1) manusia diwajibkan menyampai-kan amanah kepada yang berhak me-nerimanya dan 2) manusia diwajibkan menetapkan hukum dengan adil.
Perkataan amanah yang secara leksi-kal berarti “tenang dan tidak takut”. Jika kata tersebut dijadikan kata sifat, maka ia mengandung pengertian “segala sesuatu yang dipercayakan seseorang kepada orang lain dengan rasa aman”.16 Dengan demikian jika perkataan amanah dibawa dalam konteks kekuasaan negara, maka perkataan tersebut dapat dipaham sebagai suatu pen-delegasian atau pelimpahan kewenangan dan karena itu kekuasaan dapat disebut sebagai mandate yang bersumber atau berasal dari Allah swt.
2.    Prinsip Musyawarah
Dalam Alquran ada dua ayat yang menggariskan prinsip musyawarah sebagai salah satu prinsip dasar dalam Islam. Ayat pertama terdapat dalam surah al-Syura (42): 38 ... وامرهم شوري بينهم ... (…sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musya-warah…)17, sedang ayat kedua terdapat dalam surah Ali Imran (3): 159 ... وشاورهم في الامر... (…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…)18.
Ayat pertama menggambarkan bahwa dalam setiap persoalan yang menyangkut masyarakat atau kepentingan umum Nabi selalu mengambil keputusan setelah me-lakukan mesyawarah dengan para sahabat-nya. Ayat kedua menekankan perlunya diadakan musyawarah, atau lebih tegasnya umat Islam wajib bermusyawarah dalam memecahkan setiap masalah kenegaraan. Kewajiban ini terutama dibebankan kepada setiap penyelenggara kekuasaan negara dalam melaksanakan kekuasaannya.
Musyawarah dapat diartikan sebagai suatu forum tukar-menukar pikiran, gagasan ataupun ide, termasuk saran-saran yang diajukan dalam memecahkan suatu masalah sebelum tiba pada suatu peng-ambilan keputusan. Jika dilihat dari sudut kenegaraan, maka musyawarah adalah suatu prinsip konstitusional dalam Islam19 yang wajib dilaksanakan dalam suatu pemerintahan dengan tujuan untuk men-cegah lahirnya keputusan yang merugikan kepentingan umum atau rakyat.20 Dengan demikian musyawarah berfungsi sebagai “rem” atau pencegah kekuasaan yang absolut dari seorang penguasa atau kepala negara.
3.    Prinsip Keadilan
Perkataan keadilan sama hal dengan musyawarah yang bersumber dari Alquran. Cukup banyak ayat-ayat Alquran yang menggambarkan tentang keadilan, di antaranya terdapat dalam surah al-Nisa’ (4): 135
يَا أَيُّهَاالذِيْنَ أَمَنُوْا كُوْنُوا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرِبِيْنِ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيْرًا فَاللهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلاَ تَتَّبِعُوْا الهَوَى أَنْ تَعْدِلُوْا وَإِنْ تَلْوُا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.21
Dari ayat tersebut di atas sekurang-kurangnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a.    Orang-orang yang beriman wajib me-negakkan keadilan.
b.    Setiap mukmin apabila ia menjadi saksi ia diwajibkan menjadi saksi karena Allah dengan sejujur-jujurnya dan adil..
c.    Manusia dilarang mengikuti hawa nafsu.
d.   Manusia dilarang menyelewengkan ke-benaran.
Keadilan merupakan salah satu prinsip yang sangat penting dalam Alquran. Oleh karena Allah sendiri memiliki sifat Maha Adil. Keadilan-Nya penuh dengan kasih sayang kepada makhluk-Nya (rahman dan rahim). Dalam Islam, keadilan adalah kebenaran. Kebenaran adalah merupakan salah satu nama Allah. Dia adalah sumber kebenaran yang di dalam Alquran disebut al-haq. Oleh karena itu, Al-Syaukani, sebagaimana yang dikutip Abd. Muin Salim, menyatakan bahwa keadilan adalah menyelesaikan perkara berdasarkan ajaran yang terdapat dalam Alquran dan sunah, bukan menetapakn hukum dengan pikiran.22
Apabila prinsip keadilan dibawa ke fungsi kekuasaan negara, maka ada tiga kewajiban pokok bagi penyelenggara negara atau suatu pemerin-tahan sebagai pemegang kekuasaan, yaitu: 1) Kewajiban menerapkan kekuasaan negara yang adil, jujur, dan bijaksana; 2) Kewajiban menerapkan kekuasaan kehakiman yang seadil-adilnya; dan 3) Kewajiban penyelenggara negara untuk mewujudkan suatu tujuan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera di bawah keridhaan Allah.
4.    Prinsip Persamaan
Prinsip persamaan dalam Islam dapat dipahami antara lain dari  alquran surah al-Hujurat (49): 13
يَاأَيًّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Terjemahnya:
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.23
Ayat itu melukiskan bagaimana proses kejadian manusia. Allah telah menciptakannya dari pasangan laki-laki dan wanita. Pasangan yang pertama adalah Adam dan Hawa, kemudian dilanjutkan oleh pasangan-pasangan lainnya melalui suatu pernikahan atau keluarga. Jadi semua manusia melalui proses penciptaan yang “seragam” yang merupkan suatu kriterium bahwa dasarnya semua manusia adalah sama dan memiliki kedudukan yang sama. Inilah yang disebut prinsip persamaan.
5.    Prinsip Pengakuan dan Perlindungan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia
Dalam Islam hak-hak asasi manusia bukan hanya diakui tetapi juga dilindungi sepenuhnya. Dalam hal ini ada dua prinsip yang sangat penting yaitu prinsip pengakuan hak-hak asasi manusia dan prinsip perlindungan terhadap hak-hak tersebut. Prinsip-prinsip itu secara tegas digariskan dalam  alquran antara lain dalam surah al-Isra’ (17): 70
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِى آدَمَ وَحَمَلْنَهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطِّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلاً
Terjemahnya:
Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.24
Ayat tersebut di atas dengan jelas mengekspresikan kemuliaan manusia yang di dalam teks Alquran disebut karamah (kemuliaan). Hal itu mengandung prinsip pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia sebagai hak-hak dasar yang dikaruniakan Allah kepadanya. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak tersebut ditekankan pada tiga hal, yaitu: 1) persamaan manusia; 2) martabat manusia; dan 3) kebebasan manusia.
6.    Prinsip Peradilan Bebas
Prinsip ini berkaitan dengan prinsip keadilan dan persamaan. Dalam Islam seorang hakim memiliki kewenangan yang bebas dalam mengambil keputusan. Hakim wajib menerapkan prinsip keadilan dan persamaan terhadap siapapun berdasarkan ayat dalam surah al-Nisa’ (4): 58
... وَإِذَاحَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ...
Terjemahnya:
… dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil 25
Dengan demikian putusan hakim harus mencerminkan rasa keadilan hukum terhadap siapapun. Prinsip peradilan bebas dalam Islam bukan hanya sekedar cirri bagi suatu negara hukum, akan tetapi juga ia merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi setiap hakim. Peradilan bebas merupakan persyaratan bagi tegaknya prinsip keadilan dan persamaan hukum.
7.    Prinsip Perdamaian
Islam adalah agama perdamaian. Olehnya itu alquran sangat menjunjung tinggi dan mengutamakan perdamaian sebagaimana yang termaktub dalam surah al-Baqarah (2): 208
يَاأَيُّهَاالذِيْنَ أَمَنُوْا ادْخُلُوا فِى السِّلْمِ كَافَّةً
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, masuk-lah kamu ke dalam Islam keseluruhan 26
Pada dasarnya sikap bermusuhan atau perang merupakan sesuatu yang terlarang dalam  alquran. Perang hanya merupakan suatu tindakan darurat dan bersifat defensif atau membela diri.
8.    Prinsip Kesejahteraan
Prinsip kesejahteraan dalam Islam bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi seluruh anggota masyarakat atau rakyat. Tugas itu dibebankan kepada penyelenggara negara dan masyarakat.  alquran telah menetapkan sejumlah sumber-sumber dana untuk jaminan sosial bagi anggota masyarakat yang memerlukannya dengan berpedoman pada prinsip keadilan sosial dan keadilan ekonomi. Sumber-sumber dana tersebut antara lain adalah : zakat, sadaqah, hibah, dan wakaf. Mungkin juga dari pendapatan negara seperti pajak, bea, dan lain-lain.
9.    Prinsip Ketaatan Rakyat
Prinsip ketaatan rakyat telah ditegaskan  alquran dalam surah al-Nisa’ (4): 59
يَاأَيُّهَاالذِيْنَ أَمَنُوْا أَطِيْعُوا اللهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُوْلِى الأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَيْئٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَومِ الأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah ( alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.27
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa “menaati Allah” itu berarti tunduk kepada ketetapan-ketetapan Allah, “menaati Rasul” ialah tunduk kepada ketetapan-ketetapan Rasul yaitu Nabi Muhammad saw., dan “menaati ulil amri” ialah tunduk kepada ketetapan-ketetapan petugas-petugas kekuasaan masing-masing dalam lingkungan tugas kekuasaannya, selama ketetapan-ketetapan itu tidak bertentangan dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya.
III.   KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.    alquran sebagai kitab suci umat Islam mengandung seperangkat prinsip dan tata nilai etika bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.  alquran mengajarkan antara lain prinsip-prinsip kekuasaan sebagai amanah, permu-syawaratan dalam mencari pemecahan masalah-masalah bersama, keadilan, persamaan, pengakuan, dan perlin-dungan terhadap hak-hak asasi manusia, peradilan bebas, perdamaian, kesejah-teraan, dan ketaatan rakyat.
2.    alquran maupun hadis Nabi tidak meng-ajarkan sistem pemerintahan tertentu yang harus dianut oleh umat Islam. Nabi saw. wafat tanpa meberikan petunjuk tentang bagaimana seharusnya umat Islam menentukan siapa pemimpin atau kepala negara, tentang bagaimana mengatur hubungan kekuasaan antara kepala negara dan rakyat, tentang batas kekuasaan dan masa jabatan kepala negara, dan tentang dapat atau tidaknya dibebaskan dari jabatannya.
3.    Nabi Muhammad saw. sebagai Kepala Negara Madinah telah menerapkan prinsip-prinsip itu (poin 1) dengan baik dan sukses, karena: 1) Beliau adalah tokoh panutan atau uswatun hasanah yang tidak hanya sekedar berbicara tentang ajaran Islam, tetapi ajaran itu beliau wujudkan secara konkret dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara; 2) karakter Nabi saw. sebagai kepala negara selalu mencerminkan sikap dan watak sebagai pemimpin yang berjiwa demokrat dan berwibawa sesuai dengan akhlak Islam; dan 3) kesadaran rakyat sangat tinggi terhadap kewajiban-kewajiban dan hak-hak mereka.
4.    Sistem Khilafah (suatu pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Khalifah sebagai kepala negara) yang pernah diterapkan pada masa Khulafa al-Rasyidin adalah suatu sistem bernegara yang ideal yang pernah dalam hukum dan sejarah Islam. Artinya, baik secara teoritis maupun secara empiris sistem itu pernah ada dalam Islam. Oleh karena itu, asumsi yang menyatakan bahwa dalam Islam tidak ada sistem negara dan pemerintahan adalah tidak benar.
DAFTAR PUSTAKA
A. Mustari Pide, Pengantar Hukum Tata Negarai. Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an. Cet. II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995.
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Pencaturan dalam Konstituante. Cet. I; Jakarta: LP3ES, 1985.
al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir. Bandung: Mizan, 1984.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Semarang: Toha Putra, 1988.
Ibnu Kencana Syafi’i, Hukum Tata Negara. Cet. I; Jakarta: Dunia Pustaka Raya, 1991.
Mohammad S. el-Awa, Sistem Politik dalam Pemerintahan Islam. Surabaya: Bina Ilmu, 1983.
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilhat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Masinah dan Masa Kini. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: ajaran, sejarah dan pemikiran Cet. V; Jakarta: UI-Press, 1993.
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam. Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Tim Penyusun, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 16. Cet. I; Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1991.
Catatan Akhir:
[1]Lihat QS. al-Baqarah (2): 208; Depar-temen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1988), h. 50
2Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: ajaran, sejarah dan pemikiran (Cet. V; Jakarta: UI-Press, 1993), h. 1
3Lihat Tim Penyusun, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 16 (Cet. I; Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1991), h. 133
4Lihat A. Mustari Pide, Pengantar Hukum Tata Negarai (Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 3
5Lihat Ibnu Kencana Syafi’i, Hukum Tata Negara (Cet. I; Jakarta: Dunia Pustaka Raya, 1991), h. 11  
6Lihat Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilhat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Masinah dan Masa Kini (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 12
7Lihat Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an (Cet. II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), h. 84-85
8Lihat QS. al-Baqarah (2): 30
9Perhatikan firman Allah yang berbunyi:  كان الناس أمة واجدة فبعث الله النبيين   QS. al-Baqarah (2): 213; dan  وماكان الناس إلاأمة واجدة فأجتلفوا   QS. Yunus (10): 19
10Lihat T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam (Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 33
11Lihat Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Pencaturan dalam Konstituante (Cet. I; Jakarta: LP3ES, 1985), h. 33; dan Muhammad Tahir Azhary, op. cit., h. 9
12Lihat Munawir Sjadzali, op. cit., h. 28
13Lihat QS. Ali Imran (3): 26
14Departemen Agama RI, op. cit., h. 128
15Lihat Abd. Muin Salim, op. cit., h. 198
16Departemen Agama RI, op. cit., h. 789
17Ibid., h. 103
18Lihat Mohammad S. el-Awa, Sistem Politik dalam Pemerintahan Islam (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), h. 114
19Lihat al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir (Bandung: Mizan, 1984), h. 73
20Departemen Agama RI,  op cit., h. 144-145.
21Lihat Abd. Muin Salim, op. cit., h. 214
22Departemen Agama RI, op. cit., h. 847
23Ibid., h. 435
24Ibid., h. 128
25Ibid., h. 50
26Ibid., h. 128


3 komentar: